Selama Ada Tupkies, Indonesia Akan Baik-Baik Saja

Hillfrom Timotius
4 min readFeb 6, 2021
Photo via Tupkies Instagram

Sahur hari pertama. Sekilas, kata-kata yang nantinya berperan sebagai judul video pertama dari rentetan video gemilang yang menuntun pada kesuksesan ini, terbilang sederhana. Menunjukan terbangunnya seorang pemuda dari tidurnya, turun untuk menyapa kedua orang tua, lantas mengadu sendok dan garpu di piring yang bertindak sebagai wahana, video ini bisa dibilang sangat lugu. Untuk tak menyebutnya tidak bermanfaat.

Akan tetapi dadu beradu, doa dipanjatkan, dua sisi yang menunjukkan angka enam menengadah, doa ijabah. Barangkali masuknya Indonesia ke dalam peta perjalanan Nona Rona––sebutan masygul saya untuk virus Covid-19, tidak melulu beriringan dengan awan hitam. Setidaknya bagi Fadil Jaidi, 2020 adalah miliknya. Karirnya melejit, banyak simpul perkawanan terbuka, hingga karyanya yang hidup dalam kepala banyak orang.

Fadil Jaidi tidak sendiri. Walaupun 2020 mampu ia taklukan, bocah bangor dengan seorang bapak yang ikonik ini, harus berbagi panggung. Di belahan wilayah lainnya, sebuah harapan berjalan. Selang beberapa hari dari video Fadil, sebuah akun Instagram memulai perjalanannya. Mengakali pandemi, mencari sedikit gemerincing keberuntungan finansial, Tupkies lahir dan menyapa dunia.

Mendirikan usaha harusnya ada di YouTube rewind Indonesia. Virus yang menjahili peradaban manusia juga bukan hanya Covid-19. Ada sebuah tren brengsek bernama mendirikan usaha. Brengsek karena semuanya demikian. Brengsek karena saya juga terseret dalam ombak keseruan ini. Tupkies adalah bayi yang ikut-ikutan lahir pada saat itu juga. Membuat saya ragu, apakah usaha ini hanya peserta maraton tanpa persiapan? Mengikut sertakan diri namun tanpa pengalaman, barangkali tujuannya hanya untuk mempercantik sosial media. Kini, Tupkies barangkali masih menjadi pelari yang semangat mengikuti perlombaan. Tidak kram dan berhenti terlebih dahulu seperti beberapa nama yang nasibnya kurang mujur.

Dunia ini sudah terlebih dahulu mengenal Kendall dan Kylie Jenner, kakak-beradik yang layak disebutkan sebagai contoh sukses mendulang pundi-pundi uang baik di dunia hiburan maupun dunia bisnis. Belantika musik lokal juga pernah kebagian contoh yang tidak terlalu jauh. Ada Faiz dan Fathia dalam Reality Club. Bersama, keduanya meramu dan menelurkan Alexandra. Tembang mereka yang punya cerita jenaka tersendiri bagi saya.

Indri dan sang kakak, Indah Sagala, tak ayalnya Walt dan Roy Disney. Indri dan Indah adalah epitomi saudara jadi sahabat. Keduanya bak pinang dibelah dua, kreatif adalah nama tengah mereka, selalu peka terhadap tren yang berlangsung adalah kemampuan yang mereka kuasai, formula yang menyenangkan.

Pertemuan pertama saya dengan salah satu produk andalan mereka, cookies, berlangsung di siang hari yang redam, saat pendingin ruangan cukup sukses menjalankan perannya, hari itu, kondisi hati saya terbilang sedang baik. Entah kebetulan atau memang sudah melakukan riset atas pergerakan suasana hati saya, Indri, sang adik dalam kepemilikan bisnis ini, menyodorkan sekotak penuh cookies andalan Tupkies. Najis! Kalau bukan perkara gengsi, Indri sudah saya sembah saat itu juga.

Photo via Tupkies Instagram

Begini, teksturnya macam kasur merk Tempur. Memeluk, bersahabat, juga pemalu. Kala itu Indri berkelakar bahwa benda yang masuk ke mulut saya bukan olahan terbaiknya, masih bisa dipanaskan lagi, ujarnya. Bayangkan! Apa yang menjadi santapan mengesankan bagi saya sore itu, masih bisa ditingkatkan kualitasnya. Rasa manisnya juga tidak arogan. Cenderung serupa Nicholas Saputra yang menghanyutkan. Akhir dan tak jarang jadi hal penting, harganya masuk di akal. Sangat masuk. Menimbang latar belakang pendidikan Indri yang memang bergerak di bidang per-kue-kue-an. Usaha yang tidak setengah-setengah dalam menduniakan Tupkies.

Apabila bermukim di Jatibening, Bekasi Barat, dan Jakarta Timur. Belum pernah mencicipi produk-produk rilisan Tupkies barangkali tergolong sebagai dosa yang berat. Nikmat Tuhan seperti ini sudah selayaknya dinikmati. The OG Milk & Dark Chocolate Cookies siap melangsungkan pesta di lidahmu. Akhir pekan dan secangkir teh hangat adalah kombinasi yang tepat. Ditemani kurasi lagu beraroma Psychedelic Rock atau Blues, hari yang menggembirakan sudah jadi jaminan.

Terlepas dari hal-hal di atas. Tupkies memang sudah seharusnya mendapat dukungan penuh dari semua orang. Usaha rumahan macam Tupkies ini tak jarang berdampak bagi banyak orang. Pengemudi ojek yang bertugas untuk mengantarkan, penjaja dagangan tempat mereka membeli bahan, hingga pelanggan yang terpuaskan, adalah satuan fase yang menyenangkan dan menjadi alasan bahwa kehadiran mereka sedikit banyaknya berdampak pada kesentosaan rakyat.

Terjauh, jurnalis musik seperti saya juga jadi ikut tergoda untuk menulis ulasan seputar hal ini. Terlepas dari hutang budi saya atas pertunjukan memanjakan yang pernah berlangsung di lidah saya, dan menuntaskan permintaan khusus dari Indri untuk menuliskan artikel ini, tulisan ini adalah bentuk kontribusi saya agar Tupkies, dan usaha-usaha rumahan lainnya terus bisa berdiri.

Omong-omong, saya yang awalnya memiliki tujuan terselubung untuk menukar seporsi Tupkies gratis dengan artikel ini, jadi urung. Saya rasa, harga teman dan permintaan untuk mendapatkan suatu produk secara gratis––hanya karena usaha yang kita incar adalah milik teman kita sendiri, adalah langkah yang salah. Mengutip kata-kata yang dulu pernah saya dengar, kawan yang baik adalah ia yang membayar lebih pada dagangan temannya. Semoga saya punya rezeki lebih untuk melakukan hal itu. Amin!

--

--