Mendapatkan Barokah Di Depan Gereja St. Bonaventura Pulomas

Hillfrom Timotius
4 min readApr 21, 2021

--

Foto milik pribadi

Perasaan ragu atau barangkali minder yang menyapa saya tadi pagi cukup unik. Rasanya nyaris serupa dengan pengalaman yang saya hadapi circa 2012. Masa itu saya berada dalam sebuah persimpangan hidup. Kedua kaki saya menapak di sebuah lingkungan sekolah katolik yang hanya menerima pelajar cowok. Pasrah jadi pilihan selepas saya mengetahui dua fakta mengenai sekolah ini : Pertama, seleksinya sulit. Kedua, lulus seleksi pun, saya tidak akan disekolahkan di sini. Sudah bayar di kelas bilingual salah satu sekolah swasta kristen favorit jadi alasan yang cukup mampu menghalangi tercapainya status saya sebagai seorang kanisian.

Dalam 18 tahun perjalanan hidup saya sebagai seorang kristen protestan, katolik menjelma dalam berbagai macam bentuk yang menemani tumbuh kembang saya. Selalu ada katolik dalam setiap momen hidup. Salah satu yang paling menghela nafas, berpasangan dengan salah satu pemeluknya. Lebih dari itu, salah satu teman baik saya memeluk agama tersebut, kerabat dan keluarga saya pun ada yang beranjak dan memilih katolik sebagai kepercayaan, sampai-sampai ke kejadian hari ini. Katolik kembali menyapa saya, kerabat kristennya yang karib.

Kembali ke kesedihan dan bisa dibilang kegagalan serta kekesalan atas gagalnya menempuh pendidikan di Kanisius, ekspektasi menjadi salah satu hal dalam dunia ini yang lebih bisa saya kontrol setelahnya. Pagi ini pernyataan barusan menemukan caranya untuk dibuktikan. Tepat setelah agenda kegiatan hari ini menyertakan Pulomas sebagai destinasi yang musti dikunjungi, kondisi perut yang masih kosong semenjak belum sarapan, membantu saya mengolah keputusan bahwa sarapan di depan Gereja St. Bonaventura Pulomas adalah hal yang klik dalam skenario takdir. Ada sebuah gerobak mie ayam yang menjajakan dagangannya di sana.

Ragu dan minder, sekalipun beralasan, tetap menyisakan setidaknya sedikit harapan. Sebuah upaya berandai-andai yang sejujurnya menyakitkan, tapi sejujurnya lagi, sangat nikmat untuk dilakukan. Dalam kasus ini, pencarian berkat atau barokah di sebuah gerobak mie ayam. Menilik besarnya probabilitas tempat ini tutup, mengingat kondisi kunjungan saya yang merupakan pagi hari di sebuah bulan ramadan, ekspektasi tak saya susun sama sekali, namun tetap, harap-harap akan keinginan yang terdengar egois itu tak bisa diam dan seolah tak peduli. Ia teriak-teriak dan tak tahu malu.

Berlabuh gagah di depan Gereja St. Bonaventura Pulomas, saya menemukan Barokah. Mendadak ada sinar yang turun dan menyinari sebuah gerobak mungil berwarna biru di tepi jalan itu. Ada sedikit penyesalan saat artikel ini dituliskan. Hal itu muncul karena melewatkan kesempatan untuk berbincang dengan koki rangkap pelayan yang bertugas untuk menanyakan satu dua hal perihal pengoperasian usaha bagi-bagi barokah mereka ini.

Foto milik pribadi

Selepas rasa, faktor numerik jadi tolak ukur lain dalam sebuah pengalaman mencicipi sebuah kuliner. Rasanya, untuk suasana, higenitas, dan kelezatan yang ditawarkan, deretan harga diatas berubah menjadi sebuah kesimpulan singkat yang menyatakan dengan tegas namun memelas bahwa ini semua sepantasnya demikian. Pagi tadi, pilihan melayang ke mie ayam biasa dengan tambahan dua biji bakso dan dua pangsit rebus. Memecah kedinginan dan mengambil sebotol air mineral dingin, total belanja menjadi senilai Rp. 25.000,00.

Foto milik pribadi

Amboi! Setelah menyaksikan terbit matahari di puncak tertinggi di Pulau Jawa, pemandangan tersajinya semangkuk mie ayam dari Mie Ayam Barokah masuk dalam satu dari sekian pemandangan indah yang indera penglihatan saya pernah saksikan. Visual dari ayamnya empuk. Betul, hal ini bisa nampak. Tidak kering namun tidak basah, pas! Sayurnya tidak penuh, tapi tak pula terlampau sedikit, pas! Kuah, besar bakso, hingga besar pangsit, pun! Pas!

Menyoal rasa, mie sebagai satuan unit vital dalam sajian ini, memperlakukan pelanggan dengan santun. Berbekal bodinya yang tipis dan halus, siapapun tak perlu kerja ekstra untuk mencernanya. Rasa kuah yang tak gurih membuat sambal, saos, hingga kecap yang disediakan di meja menjadi eksperimen kuliner yang menyenangkan. Bakso tak terlalu halus, ada gringjel-grinjel yang saya pribadi doyan. Pangsitnya membuka diri dengan sukarela, melengos santai di mulut.

Dengan berbekal portal sebagai penutup jalan, Mie Ayam Barokah jadi ciri khas di jalan depan Gereja St. Bonaventura Pulomas. Pasti bisa ditemukan hanya dari sekilas pandangan. Harga yang masih masuk batas wajar bersanding dengan balasan kenikmatan yang sepantaran menjadikan pengalaman kuliner di sini menggoda untuk diulang. Ah iya, perhatikan posisi parkir kendaraan saat mampir ke sana. Jangan sampai menghadirkan gerutu pada hari orang lain, jalanannya sama seperti porsi yang disajikan. Tak sempit sebenarnya, tapi tak juga luas. Pas!

--

--

No responses yet