Hidup Ini Peler! Ujar Ross Geller

Hillfrom Timotius
4 min readJan 19, 2021
Photo Via NBC

David Crane dan Marta Kauffman adalah dua sosok yang patut kamu traktir saat tidak sengaja berpapasan di suatu kedai kopi. Apalagi kalau kedai kopi yang kamu datangi bernama Central Perk, cari Gunther, dan sebutkan pesananmu padanya. Berbalut kemeja lengan panjang yang dikancing sampai atas dan diikat dengan dasi yang menjuntai hingga ke depan udel, pelayan dengan batok kepala penuh rambut putih ini akan siap membantumu.

Berfokus pada kehidupan enam karakter berusia 20-an tahun yang tinggal di Manhattan, New York City, Insomnia Cafe — yang kemudian berganti nama menjadi Six of One dan Friend Like Us, lantas disepakati menjadi Friends adalah serial yang komplit. Menyuguhkan gejolak kehidupan percintaan, masalah karier yang dibalut dengan drama, komedi, serta romantis.

Ini tentang seks, cinta, hubungan, karier, waktu-waktu di hidupmu yang segalanya mungkin terjadi. Ini tentang pertemanan karena ketika kau lajang dan tinggal di kota, temanmu adalah keluargamu. Kata-kata Crane dan Kauffman yang saya rasa punya daya magis sebesar karyanya. Banyak orang yang terberkati atas karya mereka ini.

Para psikolog menemukan sejumlah dampak budaya dari serial tersebut. Gaya rambut Aniston yang mendapat julukan ‘The Rachel’, hingga godaan genit khas Joey, “How you doin’?” yang menjadi popular. Terlepas dari muatan materinya, tak sedikit yang memberi apresiasi kepada Friends karena telah berhasil membantu mereka dalam berbahasa Inggris.

Salah satu punggawa boyband Korea Selatan (BTS), RM pun membeberkan pengakuan dalam acara The Ellen Show. Abang Kim Geong Min ini berujar bahwa sebagai satu-satunya anggota BTS yang fasih berbahasa Inggris, ia banyak belajar dari serial Friends.

Tidak berhenti di situ, Crane dan Kauffman juga banjir pujian. Ah, dua orang ini memang layak mendapatkannya, alasan ini yang menjadikan mereka sangat layak. Mereka berhasil membuat karakter dalam serial itu memiliki porsi yang sama dan tanpa dominasi dari karakter tertentu. Cukup menyulitkan penonton yang ingin memilih seorang karakter favorit, semuanya berimbang dengan kekuatannya masing-masing.

Walaupun meminjam nama Ross dan meletakannya di pintu masuk artikel ini. Saya tidak mengakui Ross Geller sebagai karakter favorit saya. Lebih tepatnya lagi, saya tidak tau siapa. Saya mencintai Rachel dan sifat egoisnya yang lumayan tinggi. Saya senang mendengarkan kisah-kisah masa lalu Phoebe yang membuat mata membelalak. Saya kerap kali tertawa melihat Monica yang heboh sendiri. Belum lagi Chandler yang humoris namun pemalu. Si brengsek Joey yang saya khawatirkan terkena penyakit kelamin tapi selalu menemukan jalannya untuk terus hidup.

Tapi Ross, bapak yang satu ini cukup berbeda. Begini ya, Ross itu orang yang paling layak untuk diundang dan misuh-misuh di siniar Dedy Corbuzier. Sepanjang serial ini berisikan kisah putus-nyambung antara dia dan Rachel. Kehidupannya menjadi bala bencana bagi karakter lain yang menjadi korban ego dari hubungannya dengan Rachel yang dipenuhi ego; amat kompleks dan problematik.

Kisah Friends juga dibuka oleh pengalaman naasnya. Tergambar bahwa Ross baru saja ditinggal oleh istrinya, Carol, yang ternyata seorang lesbian. Ia menyesali hal ini, di suatu waktu Ross juga pernah berupaya mengajak Carol rujuk. Ah, Ross. Terlihat memang, Ross tidak tahan kesepian dan jadi single. Ia suka berada dalam pernikahan.

Ross juga manusia. Ia bukan Superman. Ross bisa nangis, kala kekasih hatinya pergi meninggalkannya. Sejatinya, Ross dan Rachel mulai berkencan di musim kedua dan ketiga. Hubungan mereka memburuk ketika Rachel mulai sibuk bekerja di gerai Bloomingdale sehingga tak punya waktu untuk Ross. Karena masalah komunikasi, mereka memutuskan untuk mengambil jeda dari hubungan itu.

Dasar lelaki buaya darat — dan barat. Ross tidur dengan perempuan lain di tengah jeda hubungan. Persoalan ini membuat Ross tak kunjung balikan dengan Rachel hingga akhir musim kesepuluh, meski mereka tidak sengaja menikah di Las Vegas dan punya anak di musim kedelapan.

Ross itu setia, untuk tidak menyebutnya pecundang. Ross adalah saya, kamu, atau bahkan kita semua. Tau kemana hatinya meminta, tapi terlalu takut untuk melepaskan jangkar dan memulai pelayaran. Ross hanya mencintai Rachel. Hal itu yang membuat kita dipaksa setuju oleh tingkah Ross yang meremukkan hati banyak perempuan. Daftarnya panjang : Julie, Bonnie, Emily, Mona, Chloe, Elizabeth, hingga Jill.

Perempuan-perempuan ini tidak salah apa-apa, mereka punya niat baik untuk membuat Ross beralih dengan hidupnya. Merelakan Rachel. Misal Julie yang ditemui Ross di China. Hubungan mereka tanpa masalah hingga akhirnya Ross menemukan bahwa Rachel tahu mengenai perasaannya. Ia memutuskan Julie begitu saja karena ia hanya menyimpan hati pada Rachel.

Bonnie, gadis kenalan Phoebe ini juga bernasib sama. Tapi tetap saja, empunya kesialan terbesar adalah Emily. Gadis London itu hanya ingin menikah dan hidup bahagia. Si gagal move on, Ross Geller meluluh lantakan mimpinya. Ia menyebut nama Rachel di altar perkawinan mereka. Permasalahan selanjutnya makin kompleks, hubungan mereka naik turun. Ross diminta meninggalkan teman-temannya jika ingin melanjutkan pernikahan tersebut.

Saya pribadi memang punya ketertarikan sendiri terhadap orang pintar. Saya senang dengan orang pintar, mereka tak harus jenius atau tak bercela, setidaknya mereka berusaha untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Ross adalah sosok itu. Anak laki-lai Jack dan Judy Geller ini besar di Long Island. Menjadi abang laki-laki Monica, jatuh cinta dengan teman Monica sekaligus adik kelasnya, Rachel.

Nah, Ross itu begitu. Paham kan? Pintar. Tapi bodoh. Pengetahuannya perihal dinosaurus nomor satu. Tapi hatinya tak bisa dibohongi, dari SMA ia sudah memendam rasa untuk Rachel. I-Hate-Rachel Club juga menjadi bukti bahwa Ross adalah manusia. Saya senang melihat orang pintar yang bodoh. Sosok pemikir yang cengengesan. Hal itu menjadikan saya melihat mereka sebagai manusia.

Kalau suatu saat saya berhasil mewujudkan mimpi saya untuk menjadi seorang dosen. Ross Geller berperan besar dibalik keputusan itu. Dari Ross Geller kita semua belajar, menjadi dosen memaksa anda untuk terus muda. Menyesuaikan diri dengan pergaulan. Studi dan perjalanan yang mengatas namakan riset juga mengasyikan. Bahkan beberapa kisah cintanya bermula atau minimal beririsan dengan hal lain yang berbau pendidikan.

Ross adalah satu-satunya anggota yang bergelar Ph.D. Ross adalah pria yang romantis. Ross adalah sosok yang cerdas dan mendalami kegemarannya dengan amat sangat. Walaupun karakter lain seolah bosan dengan kajian pendidikan yang ia bawakan, Ross tetap bergairah. Ross adalah kita, yang memendam rasa dan terus berharap, yang menggemari suatu hal dan tenggelam di dalamnya, yang menghidupi hidup dengan keseimbangan dan mencari kebahagiaan.

--

--