Anak Sekecil Itu Berkelahi dengan UU
Artikel ini sudah lebih dulu tayang di SIBIRU––media himpunan Mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad.
Bersanding dengan tenaga nuklir, rasa penasaran nampaknya juga jadi hal yang harus diawasi. Bagaimanapun, baik tenaga nuklir maupun rasa penasaran itu memiliki risiko. Namun, terkadang rasa penasaran itu menjelma menjadi kawan lama yang dahulu punya kepribadian menyebalkan berpadu dengan ide-ide binal. Sialnya, tak jarang tipe kawan macam ini yang justru membawa kita menemukan hal-hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Syahdan, nampaknya kita harus sepakat, baik tenaga nuklir maupun rasa penasaran, keduanya punya probabilitas untuk keluar sebagai hal baik.
Rasa penasaran barangkali jadi hal yang membuncah di dalam tubuh saya — bersamaan dengan asam lambung. Pertanyaannya sederhana: Apabila seorang anak di bawah 17 tahun ingin mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan SIM dan berlatih di jalan raya, apakah ia melanggar aturan? Semenjak kita sama-sama tahu bahwa yang bersangkutan tidak memiliki surat izin untuk melakukan hal tersebut.
Marilyn Monroe barangkali benar. Apabila seseorang mengetahui semua aturan yang ada, ia tidak akan pernah ke mana-mana. Akan tetapi, Marilyn Monroe tidak hidup di Indonesia, di negara yang aparat kepolisiannya punya program televisi macam 86 dan Raimas Backbone. Membuat tersipu siapa pun yang tertangkap basah sedang melanggar hukum. Selidik punya selidik, pertanyaan saya menemui jodohnya dan terjawab di sebuah undang-undang.
Ada frasa “belajar sendiri” yang menyelonong dalam UU 22/2009. Memperumit suasana, frasa ini tidak dijelaskan lebih rinci di dalam sana. Mengacu pada Marcell Kurniawan dan Roslianna Ginting — dua orang penggugat UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ke Mahkamah Konstitusi — pasal di atas sudah seharusnya diinterpretasikan dalam artian, pembelajaran terkait mengendarai kendaraan bermotor, harus didampingi seorang instruktur yang memenuhi syarat.
Mudahnya, proses pembelajaran terkait mengendarai kendaraan bermotor harus dilakukan dalam sebuah pelatihan yang sudah ditunjuk. Pada pelaksanaannya, akan ada penggunaan kendaraan pribadi yang sudah terlebih dahulu dilengkapi dengan rem dan kopling darurat. Selain itu, yang pasti dan terutama, didampingi oleh instruktur yang kompeten, sehingga tidak memperpanjang rentetan daftar kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kerugian, seperti hilangnya nyawa seseorang, cedera yang bikin kepala ngilu, kerusakan property dan kerusakan fasilitas umum seperti yang pernah terjadi circa 2019, ketika Apotek Senopati dihajar dua mobil dalam kurun waktu dua bulan.
Instruktur dan inisiator dari Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC), Jusri Pulubuhu juga setali tiga uang dengan pernyataan yang sudah terlebih dahulu dikeluarkan oleh Marcell dan Roslianna. Undang-undang yang ada memang cukup bias. Di dalam pelaksanaannya, orang-orang yang datang untuk membuat SIM hanya berbekal persyaratan umur yang sudah cukup, administrasi, kesehatan, dan pengalaman yang tipenya antah berantah.
Musababnya sederhana: semua ingin selamat di jalan. Kualitas pengendara dan keselamatan memang berbanding lurus. Harusnya, apabila sistem ini dikoreksi sedari dulu, Bin Idris barangkali tak perlu repot-repot membuat lagu satir pada pengendara jahil nan tengil dalam tembangnya yang berjudul “Jalan Bebas Hambatan”.
Mengenai tempat pendidikan dan pelatihan yang layak untuk dijadikan saduran juga telah diatur. Tempatnya harus resmi, pedomannya telah tertera pada Pasal 78, isinya menyatakan penyelenggaraannya dilakukan oleh lembaga dengan izin dan akreditasi pemerintah. Ide tambahan, mungkin lulusan tempat pendidikan dan pelatihan mengemudi ini bisa dibekali dengan sebuah sertifikat — yang nantinya akan berperan sebagai syarat dalam mebuat SIM. Lagi-lagi, setidaknya mengkurasi pengemudi yang lebih berkualitas di jalan raya.
Ada beberapa fakta menyoal pengemudi di bawah umur yang bagi saya pribadi cukup jadi alasan kuat dan punya daya persuasif agar proses mendapatkan SIM disadur lebih rinci. Utama, remaja berusia antara 16–19 tahun punya kemungkinan empat kali lebih besar mengalami kecelakaan lalu lintas atau laka lintas dibandingkan yang berusia lebih dewasa atau tua.
Kedua, para remaja punya kecenderungan untuk ugal-ugalan, apalagi soal ngebut. Menerobos lampu merah, berbelok tidak pada tempatnya, hingga berkendara dalam kondisi mabuk. Hal ini bak menemui manusia silver di simpang jalan — pemandangan sehari-hari. Terakhir, ada perasaan tidak mau kalah atau tertekan rekan sebaya: gejolak kawula muda. Ada perasaan jemawa sekaligus berani yang tidak pada tempatnya.
Anak kecil — sapaan saya untuk adik-adik berumur 16 tahun yang masih belum punya kesempatan untuk memiliki SIM — memang sejatinya berkelahi dengan UU. Di balik frasa “belajar sendiri”, ada segelintir aturan ketat yang harus dimengerti. Perkelahian anak kecil dengan UU adalah perkelahian Conor McGregor dengan Khabib Nurmagomedov, menimbulkan rasa jera dan urgensi untuk rendah hati. Ke sini, rasanya judul di atas musti diubah. Anak sekecil itu diselamatkan oleh UU.